Menyerah adalah pilihan yang sering kita hadapi dalam kehidupan yang kita jalani. Namun apapun persoalannya, menyerah biasanya akan mengarahkan kita pada keputusan yang buruk. Karenanya jika kita merasa kalah, yang bisa kita lakukan adalah berjuang dan berusaha lebih keras untuk mendapatkan keputusan terbaik.
Menyerah pun pernah menjadi pilihan dalam hidup Jamie Vardy, penyerang asal Inggris saat ini menjadi sorotan publik sepakbola dunia. Yang kita tahu saat ini adalah ia terus mencetak gol demi gol pada setiap pertandingan yang ia jalani pada musim 2015/2016. Leicester City yang ia bela saat ini pun melesat bersaing di papan atas klasemen, tepatnya di peringkat ketiga Liga Primer Inggris.
Namun, sebelum karier Vardy meroket seperti sekarang ini, ia harus merangkak dari divisi bawah untuk bisa bermain di Liga Primer. Bahkan ia pun pernah menyatakan bahwa ia hampir menyerah di sepakbola karena kariernya tak kunjung membaik.
Awal Oktober 2009, FC United of Manchester yang memadati stadion Gigg Lane, kandang FCUM sebelum pindah ke Broadhurst Park, bergembira atas kemenangan FCUM melawan Stocksbridge Park Steels. Tuan rumah melakukan comebackyang membuat skor akhir menjadi 4-3.
Tapi di sisi lain, stadion yang diisi oleh sekitar 1.888 orang ini cukup terhibur dengan aksi salah satu pemain Stocksbridge bernomor punggung 43. Ia adalah Jamie Vardy. Pada menit ke-27, mereka menyaksikan pemain berusia 22 tahun mencetak gol setelah menerima bola dari tengah lapangan lalu melewati tiga pemain lawan.
Tentunya tak akan ada yang menyangka dalam enam tahun ke depan setelahnya, pemuda tersebut menjadi bintang Liga Primer. Bahkan Vardy sendiri tak pernah menyangka bahwa kariernya bisa sebaik ini. Di masa lalu, ia hanya berkarier di divisi terbawah Liga Inggris.
“Dulu mimpi buruk! Tim harus terdegradasi atau promosi dan hanya berkutat di zona Utara atau Selatan bergantian setiap tahunnya,” ujar Vardy ketika diwawancarai The Telegraph.
Bermain di divisi bawah membuatnya harus bepergian dari kota satu ke kota lainnya dalam waktu singkat. Vardy dan rekan-rekannya tak pernah tinggal di sebuah kota dalam semalam karena klub tak memiliki biaya untuk menyewa tempat peristirahatan sementara.
Kehidupannya sebagai pesepakbola amatir memang menyulitkan. Ia pernah terlibat perkelahian di sebuah klub malam yang membuatnya harus berurusan dengan polisi. Beruntung pembelaan dirinya yang menyatakan bahwa ia hanya menolong rekannya saat itu diterima dan membuatnya hanya dihukum memiliki batas jam malam hingga pukul setengah 7 malam.
“Untungnya itu tidak menghentikan saya bermain sepakbola. Hal tersebut sebenarnya bisa saja membuat saya kehilangan kesempatan untuk bermain sepakbola lagi,” lanjut Vardy. “Namun hal itu membuat saya ingin bekerja lebih keras dengan waktu saya di lapangan untuk memajukan karier saya.”
Vardy sempat mengutuk nasibnya yang membuatnya dilepas dari akademi Sheffield Wednesday pada usia 15 tahun. Alasan akademi melepaskan Vardy saat itu karena tubuhnya dianggap terlalu kecil untuk anak-anak usia 15 tahun. “Begitu hal itu terjadi, saya tidak pernah berpikir saya akan bermain sepakbola lagi. Itu adalah sakit hati yang nyata sebagai seorang anak-anak.”
Namun Vardy berusaha keras untuk mempercepat pertumbuhannya. Ia sempat rehat sejenak dari sepakbola untuk fokus pada perkembangan pertumbuhannya untuk lebih tinggi lagi. Setelah hampir setahun tak bermain sepakbola, ia bergabung dengan salah satu akademi di Rotherham. Dari situ ia mendapatkan kesempatan bergabung dengan Stocksbridge Park Steel, kesebelasan kecil di kota pinggiran Sheffield.
Gajinya yang sebesar 30 poundsterling per pekan dirasa tak cukup bagi kehidupannya sehari-hari. Ia bahkan saat itu bekerja juga di sebuah pabrik pembuat serat karbon. Hal ini bisa ia lakukan karena ia berlatih dua kali dalam seminggu dan hanya bertanding pada akhir pekan.
Kehidupan seperti ini ia jalani selama tiga tahun. Bersamaan dengan itu pula ia mencetak 66 gol dari lebih 100 pertandingan yang ia jalani. Capaian itulah yang membuatnya digaet oleh Halifax Town pada 2010 dengan nilai transfer 15 ribu pounds.
“Sangat jelas terlihat bahwa Vardy berbakat dan itu luar biasa meski ia tidak terlihat cepat,” ujar David Bosomworth, chairman Halifax, pada Mirror Online. “Klub sudah memerhatikannya namun sulit mengambil keputusan. Namun kemudian kami merasa ia memiliki sesuatu yang bisa diberikan.”
Vardy menjawabnya dengan mencetak 27 gol pada musim pertamanya di FC Halifax Town. Torehan golnya tersebut menjadikannya sebagai pencetak gol terbanyak Northern Premier League2010-2011.
Semuanya menjadi lebih mudah bagi Vardy ketika ia hijrah ke Fleetwood Town pada musim panas 2011. Dengan bayaran 850 pounds per minggu, ia makin nyaman menjalani setiap pertandingannya. Golnya sudah lahir pada pertandingan ketiganya dengan mencetak dua gol saat menang 3-2 melawan Kettering Town.
Total 31 gol ia cetak dari 36 penampilannya pada musim tersebut mengantarkan Fleetwood promosi ke Football League Two. Jika dihitung dengan pertandingan di Piala FA, ia saat itu mencetak 34 gol dari 40 penampilan.
Menurut Mirror Online, hampir di setiap pertandingan Fleetwood saat itu selalu dihadiri pemandu bakat yang tengah mengawasi perkembangan Vardy. Dikabarkan per pertandingan, jumlah pemandu bakat yang hadir mengawasinya bisa mencapai 25 scout.
Pelatih timnas Inggris saat ini, Roy Hodgson, pernah memantau langsung Vardy ketika ia masih menukangi West Bromwich Albion. Ia hadir pada pertandingan Fleetwood menghadapi Kidderminster Harriers.
Sementara itu, Nigel Pearson, yang pernah menangani Leicester City pada 2008 hingga 2010, dikabarkan sudah memantau Vardy sejak pemain yang kini berusia 28 tahun tersebut masih bermain bersama Stocksbridge. Karenanya pada 2012, musim kedua pada kesempatan kedua ia kembali menangani Leicester City, ia tak ragu untuk memboyong Vardy dengan nilai transfer satu juta pounds, yang menjadi rekor pemain non-league. Vardy pun melesat dari pemain amatir langsung bermain ke divisi Football League Championship.
Pada awal kedatangannya ke Leicester, ia hanya mengenal satu pemain, Charlie Adam, karena Adam pun sempat berkarier sebagai pesepakbola amatir. Namun ia cepat berbaur dengan pemain lain karena ia memiliki pribadi yang humoris. Bahkan suasana ruang ganti Leicester menjadi lebih cair semenjak kedatangannya.
“Di ruang ganti, saya dipandang sebagai seorang pelawak,” aku Vardy. “Saya suka tertawa, begitu juga sebagian lain dari kami. Hal itu yang membuat atmosfer bagus di ruang ganti. Anda harus memiliki banyak lawakan namun di saat lain anda perlu juga untuk serius.”
“Kami seringkali menjahili anak-anak dari sports science. Jika mereka membawakan kami minuman yang salah, mereka akan dihukum berendam di air dingin dengan berpakaian. Hal ini membuat persahabatan kami semakin erat dengan mereka,” tambahnya.
Tapi tak selamanya karier Vardy berjalan mulus. Karena pemain-pemain yang lebih berpengalaman akan lebih banyak mendapatkan kesempatan bermain. Apalagi pada musim pertamanya, ia hanya mencetak lima gol saja. Hal tersebut sempat membuatnya putus asa untuk yang kedua kalinya.
“Ya, saya hampir menyerah jika saya harus jujur. Musim pertama saya di sini [Leicester] saya tak menjalani musim yang bagus. Saya menyadari bahwa saya tidak cukup bagus. Saya bertanya apakah saya bisa pergi menjalani masa peminjaman di kesebelasan lain, namun mereka tak mau tahu. Lalu saya mendapatkan obrolan yang menarik dengan sang manajer. Dia mengatakan: ’Kamu hanya sedang menyerah, kamu cukup bagus. Kami tidak akan merekrut kamu jika kamu tidak bagus’. Obrolan itu melegakan saya dan membuat saya benar-benar ingin bertahan.”
Vardy kemudian mencetak 16 gol dari 37 penampilannya pada musim kedua bersama Leicester dan mengantarkan Leicester promosi ke Liga Primer Inggris. Vardy pun lantas membulatkan tekadanya untuk berusaha lebih keras pada musim panas berikutnya, pra-musim yang diadakan di Thailand, kampung halaman pemilik Leicester, Vichai Srivaddhanaprabha. Ia pun semakin mendapatkan kepercayaan diri berlebih setelah dipertemukan dengan biksu dari Thailand.
“Pemilik membawa biksu dari Thailand dan kami mendapatkan berkah dari mereka,” cerita Vardy. “Lalu sebelum pertandingan melawan [Manchester] United, para biksu didatangkan kembali. Mereka mencelupkan tongkat ke air suci dan kemudian memukul-mukulkan pada kaki kami.”
Hasilnya seperti yang kita ketahui, Leicester berhasil menang dengan skor 5-3. Vardy turut menyumbang satu gol pada laga tersebut. Meski pada musim pertamanya di Liga Primer ia hanya mampu mencetak lima gol, gol-golnya cukup berarti, seperti golnya pada laga melawan West Brom dan Burnley, untuk menyelamatkan Leicester dari jurang degradasi.
Penampilan Vardy memang membaik jelang akhir musim. Penampilannya tersebut bahkanmembuatnya mendapatkan panggilan dari timnas Inggris. Ia saat itu tak percaya bahwa dirinya akan membela timnas Inggris.
“Saya langsung menuju rumah salah satu rekan saya setelah berbelanja. Saya gemetar dan terduduk hampir selama satu jam. Saya mencoba menenangkan diri tapi pesan-pesan dan deringan telepon membuat saya semakin tidak tenang. Saya senang saat ponsel saya mati karena kehabisan baterai. Saya lantas tak ingin menyalakannya hingga saya tertidur pada malam hari.”
Daftar statistik para top skor Liga Primer Inggris sampai pekan ke-12 (sumber: Opta)
Saat ini, bersama manajer asal Italia, Claudio Ranieri, Vardy menjalani puncak kariernya sebagai pesepakbola profesional. Leicester City masih bertahan di papan atas Liga Primer Inggris, tepatnya peringkat ketiga di pekan ke-12 ini. Ia juga menjadi top skor sementara dengan 12 gol sekaligus mencetak rekor demi rekor untuk melampaui Thierry Henry dan Ruud van Nistelrooy atas gol beruntunnya yang ia ciptakan.
Semua yang ia dapatkan merupakan buah dari kerja kerasnya. Ia pun tak memilih untuk menyerah ketika situasi yang dihadapinya membuatnya frustasi. Hasilnya saat ini ia bisa menikmati jerih payahnya dalam kariernya untuk menjadi salah satu penyerang papan atas Liga Primer Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar